Friday, April 25, 2008


Belajar dari Kemiskinan (Geni X1/8-Tia X1/23)


Pada hari Jumat, 25 April 2008, kami, Geni (8) dan Tia (23), mewawancarai Pak Pardi (38), seorang pemilik warung penjual kebutuhan sehari-hari di dekat rumah Tia di daerah Pondok Bambu. Pak Pardi menyewa sebuah rumah sederhana di dekat warung miliknya untuk dijadikan tempat tinggalnya bersama istri dan 1 orang anaknya. Pak Pardi sudah menggeluti usahanya ini selama kurang lebih 5 tahun, semenjak dia dan keluarganya pindah dari Tasik, kampung halamannya. Setiap hari Pak Pardi memulai hari dengan mengambil barang-barang dagangan dari distributor, lalu mulai menata dagangannya dan berjualan sampai malam. Adapun barang-barang dagangannya berupa kebutuhan sehari-hari seperti sabun, baterai, kecap, minuman sachet dan lain-lain. “Yahh, bapak ini kan hanya pedagang kecil, pemilik warung begini saja… Sudah bisa makan dan nyekolahin anak saja sudah syukur…”, ucap Bapak ini sambil tersenyum ketika ditanya tentang pekerjaan yang digelutinya. Kami sangat kagum dengan Pak Pardi karena melihat warungnya yang berkapasitas minim dan tentu saja tanpa hiburan, Pak Pardi sangat hebat karena selalu gigih dan tidak jenuh untuk selalu berusaha keras demi menafkahi keluarganya. Pak Pardi sehari-harinya bisa mendapat keuntungan kira-kira 10 sampai 20 ribu dari barang-barang dagangannya. “Ya tapi namanya juga jualan, ya untung-untungan, nggak bisa selalu untung…kalau lagi banyak rejeki ya syukur, tapi kalau memang lagi sepi ya bapak harus bisa nanggung resikonya…”, komentar Pak Pardi soal penghasilannya. Dari penghasilannya sebagai pemilik warung tersebut, Pak Pardi harus bisa mencukupi untuk makan keluarganya sehari-hari dan membiayai sekolah anaknya. Apalagi, istri Pak Pardi tidak berpenghasilan karena sulitnya mendapat pekerjaan di Jakarta. Kami juga sempat menanyakan apakah Pak Pardi senang dengan pekerjaan dan penghasilannya sekarang dan beliau pun menjawab, “Yahh.. kalau ditanya senang atau nggak ya bapak sih senang-senang aja, toh masih syukur sekali bapak masih dikasih sama Yang Di Atas kerja begini, daripada jadi pengangguran…”. Bagi Pak Pardi, yang paling penting adalah kerja keras demi menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak tunggalnya sehingga nantinya bisa menjadi lebih baik dan berhasil dari dirinya. Dalam wawancara singkat bersama Pak Pardi ini, kami mendapatkan kesan yang mendalam dan juga pelajaran untuk selalu mensyukuri apa yang kami punya. Kami mengucapkan banyak terima kasih untuk Pak Pardi atas kesediaan dan waktunya untuk diwawancarai.

 

REFLEKSI GENI X1/8

 

Kemiskinan memang bukan hal yang baru di kehidupan kita. Malahan, sebaliknya, kemiskinan begitu dekat dengan kehidupan kita. Jakarta, contohnya, kota kita yang penuh dengan segala macam aspek kemiskinan. Miskin moral, miskin ekonomi, miskin pendidikan, miskin sosial dan banyak lagi. Kemiskinan memang tidak bisa hanya dinilai dari materi, melainkan segala macam bentuk kekurangan yang tentu saja bisa kita kategorikan macam-macam. Tugas religiositas kali ini untuk mewawancarai salah satu korban kemiskinan, membuat kita mau tidak mau bersentuhan langsung dengan kemiskinan yang mungkin selama ini kita pandang sebelah mata. Bagi saya pribadi, wawancara ini semakin memantapkan saya untuk jangan pernah lupa untuk bersyukur atas apa yang ada pada diri kita, untuk selalu ingat bahwa begitu banyak orang di sekitar kita yang butuh perhatian. Cerita Pak Pardi, hanya satu dari sekian banyak cerita-cerita kemiskinan yang berfungsi sebagai alarm buat saya dan semua orang, untuk sekedar sadar bahwa semua yang diberikan pada kita patut disyukuri dan dimanfaatkan. Untuk sekedar ingat akan Tuhan yang selalu memberi kita yang terbaik. Saya belajar untuk lebih memperhatikan dan mendengarkan orang lain, tanpa membeda-bedakan status sosialnya, serta untuk lebih mencoba mengerti dan membantu orang-orang lain yang kesusahan.

Saya juga jadi lebih memahami dan menghargai jerih payah orangtua saya untuk mencari nafkah dan membiayai semua keperluan saya sehingga saya tidak kekurangan dan bisa mendapat hidup yang layak. Saya jadi lebih menghargai uang karena mengetahui betapa sulitnya mencari uang walaupun hanya sekedar untuk makan hari ini saja. Kehidupan yang selama ini saya jalani sangat patut saya syukuri karena dengan wawancara ini saya semakin mengerti, bahwa segala hal tidak selalu berjalan sesuai keinginan kita, bahwa dalam kehidupan, begitu mudah kita bisa jatuh dalam kemiskinan. Bisa saja besok saya tidak lagi bisa sekolah seperti sekarang, atau mungkin tahun depan saya harus mengemis untuk sekedar mengganjal perut, karena kita tidak bisa tahu kapan kita akan kehilangan semua yang kita punya sekarang. Maka dari pelajaran ini saya akan berusaha untuk selalu bersyukur sebelum saya kehilangan semua yang bisa saya syukuri sekarang.

Juga dari wawancara ini, saya merasa disadarkan untuk ikut ambil bagian untuk membantu orang-orang yang kesulitan dan kesusahan seperti Pak Pardi, karena saya semakin yakin, bahwa dengan bantuan dari saya, sekecil apapun, pasti akan membuat perubahan untuk menjadi lebih baik. Jadi saya akan selalu berusaha memberikan yang terbaik dan melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk menolong orang-orang yang kesulitan.

Dari Pak Pardi, saya belajar, bahwa sekeras apapun hidup kita, dan sebagaimanapun susahnya kehidupan yang diberikan pada kita, kita harus menjalaninya dengan ikhlas dan tentunya penuh rasa syukur karena Tuhan pasti memberikan yang terbaik, maka kita harus selalu tersenyum dan senang menjalani hidup kita :)

REFLEKSI TIA X1/23

Setelah kami mewawancarai pak Pardi, saya melihat betapa keras perjuangan pak Pardi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Saya kagum akan kegigihannya dalam menafkahi keluarganya. Walaupun ia hanya mendapatkan penghasilan yang tidak seberapa, ia tidak pernah mengeluh, melainkan terus tabah dan tetap bersyukur, juga bekerja keras. Perjuangan pak Pardi mengingatkan saya bahwa segala hal yang saya miliki, diperoleh dari kerja keras orang tua saya. Saya yang sudah dapat menikmati hidup dengan mudah, tanpa perlu bekerja mencari uang dengan penghasilan pas-pasan setiap harinya masih juga mengeluh jika saya tidak diijinkan membeli sesuatu yang saya inginkan. Padahal hal itu tidak terlalu saya butuhkan dan saya tidak menyadari bahwa untuk mencari uang tidaklah mudah. Dengan ini saya bertekad untuk memanfaatkan uang yang telah diperoleh orang tua saya dengan sebaik-baiknya dengan cara belajar yang rajin agar tidak mengecewakan mereka. Saya juga akan lebih menghargai orang-orang seperti pak Pardi ini karena saya menyadari bahwa perjuangan mereka untuk dapat bertahan hidup tidaklah mudah, tetapi mereka dapat melalui semuanya tanpa mengeluh, dan dengan penuh syukur.

No comments: