Friday, April 25, 2008
Penjual Bakso di Suatu Sore Berhujan
Sore itu kami sedang berjalan-jalan di daerah Otista yang keadaannya cukup ramai. Di sana banyak terdapat penjual makanan dan terdapat dua buah mini market, sehingga bisa dipastikan di daerah itu banyak orang berkegiatan sehingga tidak sepi. Saat itu hujan turun rintik-rintik, namun masih banyak saja orang yang berlalu lalang tanpa menghiraukan hujan. Akhirnya kami memutuskan untuk berteduh di depan Alfamart. Ternyata di situ ada seorang penjual bakso. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Ajeng pun langsung menghampiri penjual bakso tersebut dan memesan semangkuk bakso telur karena memang pada saat itu Ajeng sedang lapar.
Setelah selesai makan dan hati senang karena perut kenyang, kami mulai mengajak penjual bakso tersebut mengobrol. Pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan pun dijawab dengan ramah olehnya. Ternyata, penjual bakso yang bernama Pak Anto itu sudah mulai berjualan bakso keliling sejak tahun 1995.
Setiap harinya, Pak Anto keluar dari rumahnya untuk mulai berjualan pada pukul 15.00. Beliau pergi dari rumahnya yang berlokasi di daerah Cipinang, kemudian berkeliling, dan akhirnya sampai ke daerah Otista. Setiap harinya, Pak Anto mangkal di daerah Otista (tempat kami mewawancarainya) hanya sekitar 1 jam, lalu kembali berkeliling, dan akhirnya pulang kembali ke rumahnya pukul 23.00 malam setelah bakso yang ada di gerobaknya habis terjual.
Ketika ditanya mengapa menjadi penjual bakso, Pak Anto menjawabnya sambil tertawa. Katanya, mau kerja apa lagi, lebih baik jadi penjual bakso daripada tidak bekerja atau menganggur. Paling tidak, penghasilannya sehari jika semua bakso yang ada di gerobaknya habis terjual berkisar antara Rp 50000,00 sampai Rp 60000,00 dengan harga eceran per mangkok Rp 4000,00 bisa ia peroleh untuk menghidupi seorang istri dan seorang anak di kampungnya.
Ternyata, gerobak yang dimiliki bukanlah gerobak miliknya. Ia hanya bertugas berkeliling untuk menjajakan bakso majikannya, ia juga mengatakan bahwa gerobak bakso tersebut juga milik majikannya itu. Bahkan, kehidupan Pak Anto di Jakarta hamper sepenuhnya ditunjang oleh seorang majikan. Semua modal berjualan Pak Anto serta tempat tinggal dan semua kebutuhannya disediakan oleh majikannya. Jadi, istilah kasarnya ‘tinggal mikirin makan untuk sehari-hari aja’.
Ketika ditanya suka duka menjadi penjual bakso, Pak Anto menjawab layaknya tukang bakso keliling biasa. Pak Anto jarang mendapat pesanan seperti untuk pesta ulang tahun atau hajatan dan semacamnya. Selain itu, hal yang terberat selama ia berjualan bakso adalah pada saat sedang maraknya isu seperti pemakaian bahan kimia pada bakso atau bakso yang terbuat dari daging tikus, jumlah pembeli menurun drastis. Tetapi untungnya para langganan yang sudah percaya tetap membeli. Walaupun begitu, tetap saja pembeli bakso Pak Anto sangat sedikit. Itulah duka yang sampai saat ini masih dikenang Pak Anto.
Obrolan kami ditutup dengan foto bersama. Selamat berjuang dalam usaha, Pak Anto!
Disusun oleh : Ajeng (X1-25)
Vien (X1-30)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment