PROFIL IBU JUJU
Pada hari Senin, 21 April 2008 Celli dan Anita mewawancarai seorang pedagang kue keliling yang juga merangkap sebagai seorang tukang cuci gosok di kantor ayahnya Celli. Ibu ini bernama Juju yang berusia 35 tahun. Ia mempunyai seorang anak bernama Debby. Ibu Juju adalah single parent, ia merawat Debby sendirian karena suaminya sudah meninggal. Saat ini, Debby berusia 4 tahun dan bersekolah di sekolah TPA atau biasa lebih kita kenal dengan sekolah pesantren yang setara dengan TK dan sampai saat ini, ia masih bisa membiayai sekolah anaknya karena uang sekolah setiap bulannya sebesar Rp 5.000,- namun ia agak menyangsikan apakah bisa membiayai Debby sampai tingkat SMA karena pasti uang sekolah setiap bulannya akan lebih mahal pada tingkat yang lebih tinggi.
Saat kami hendak mewawancarai beliau, kami harus menunggu cukup lama karena beliau masih bekerja di rumah di mana ia bekerja sebagai tukang cuci gosok. Biasanya setelah dia mencuci baju, ia baru menjual kue. Kue yang dijualnya seharga Rp 500,- dan setiap harinya Ibu Juju mendapat keuntungan sebesar Rp 5.000,- - Rp 7.000,- karena keuntungan per kuenya hanya Rp 100,-. Kue yang dijualnya adalah kue jajanan pasar. Saat kami menanyakan, apakah dengan naiknya harga barang membuat prosentase pemasukkannya menjadi berkurang, ia berkata bahwa hal tersebut adalah relative. Karena pemasukkannya itu tergantung dari banyak –tidaknya pembeli bukan dari harga bahan untuk membuat kue.
Sebenarnya, penghasilan dari penjualan kue itu tidak terlalu mencukupi kebutuhan sehari –hari, sehingga ia mengambil pekerjaan sampingan yang cukup membantu menstabilkan keuangannya, antara lain adalah sebagai tukang cuci gosok. Ia mencucikan baju orang –orang dan dibayar Rp 20.000,- sekali cuci. Tapi, pekerjaan sebagai tukang cuci gosok ini bukanlah pekerjaan tetap. Ia hanya datang jika ada permintaan dari yang membutuhkan bantuannya.
Sebagai seorang pekerja dan single parent, seluruh penghasilan yang didapatnya tersebut hanya cukup untuk makan sehari –hari, membiayai Debby sekolah, dan modal untuk membuat kue. Namun, untuk kehidupan yang lebih baik seperti mengontrak rumah dll tampaknya akan sulit. Saat ini saja, ia tinggal di lingkungan yang agak kumuh, di belakang gudang kantor ayahnya Celli. Ia berharap ke depannya kehidupan Debby akan lebih baik dan sukses agar Debby tidak perlu susah –susah lagi seperti dirinya.
Wawancara ini harus kami akhiri karena ia masih harus menjual kue. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas waktunya dan satu lagi pelajaran berharga, didapat oleh Celli dan Anita hari ini.
Kelompok:
Celli x.1/15
Anita x.1/26
REFLEKSI
By: Celli x.1/15
Setelah saya mewawancarai Ibu Juju, saya semakin menyadari bahwa hidup itu susah apalagi bila kita tidak memperjuangkannya. Sudah diperjuangkan saja masih susah apalagi kalau kita tidak mau berusaha dengan hidup kita. Saya juga merasa sangat tersentuh dengan cerita Ibu Juju mengenai Debby. Walaupun ia hidup serba pas –pasan, ia masih mementingkan pendidikan Debby. Memang lebih baik agar anak –anak disekolahkan sehingga bisa mempunyai masa depan yang lebih baik.
Tentunya sebagai seorang single parent sangatlah berat. Saya semakin bersyukur dengan masih hadirnya orang tua saya yang berkecukupan untuk membiayai kebutuhan saya selain sekolah. Saya semakin menyadari bahwa betapa orang tua sungguh bekerja keras dan membanting tulang demi kita, anak –anaknya. Saya bertekad untuk lebih menghargai jerih payah orang tua saya dan tidak ingin mengecewakan mereka.
Nilai –nilai yang bisa saya dapat dari wawancara saya ini adalah:
Pertama, kerja keras. Orang hidup itu pasti punya kesulitan dan setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya asal kita mau bekerja keras mencari jalan keluar dari setiap kesulitan hidup kita. Kalau kita malas –malasan dan menunggu orang lain yang menemukannya kita tidak akan maju.
Kedua, peka. Banyak sekali saudara –saudara kita yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Hidupnya sangat susah, jangankan untuk sekolah, untuk makan satu hari saja mereka belum tentu mampu. Dari sini, saya pribadi merasa diajak untuk lebih membuka hati nurani terhadap sesama yang mungkin selama ini jarang dilakukan. Tak jarang, saya seolah –olah sibuk dan mementingkan diri saya sendiri padahal begitu banyak orang di luar sana yang butuh bantuan saya.
Ketiga, sikap menghargai. Sikap menghargai ini maksudnya menghargai sesama kita yang berada dalam kehidupan serba pas –pasan tapi juga menghargai orang tua kita. Kita tidak boleh memandang remeh orang yang keadaan ekonominya pas –pasan melainkan kita harus menganggap mereka sederajat dengan kita karena di hadapan Tuhan semua manusia adalah sama. Menghargai orang tua yang telah bekerja keras untuk kita, jangan selalu mengecewakan orang tua kita tapi buatlah mereka bangga dengan prestasi kita.
Keempat, kesabaran. Ibu Juju adalah orang yang sabar menghadapi cobaan hidupnya. Walaupun ia sudah lama tinggal di Jakarta dan kondisi perekonomiannya tetap pas –pasan, ia mencoba terus tanpa letih untuk mencari uang.
By: Celli x.1/15
Setelah saya mewawancarai Ibu Juju, saya semakin menyadari bahwa hidup itu susah apalagi bila kita tidak memperjuangkannya. Sudah diperjuangkan saja masih susah apalagi kalau kita tidak mau berusaha dengan hidup kita. Saya juga merasa sangat tersentuh dengan cerita Ibu Juju mengenai Debby. Walaupun ia hidup serba pas –pasan, ia masih mementingkan pendidikan Debby. Memang lebih baik agar anak –anak disekolahkan sehingga bisa mempunyai masa depan yang lebih baik.
Tentunya sebagai seorang single parent sangatlah berat. Saya semakin bersyukur dengan masih hadirnya orang tua saya yang berkecukupan untuk membiayai kebutuhan saya selain sekolah. Saya semakin menyadari bahwa betapa orang tua sungguh bekerja keras dan membanting tulang demi kita, anak –anaknya. Saya bertekad untuk lebih menghargai jerih payah orang tua saya dan tidak ingin mengecewakan mereka.
Nilai –nilai yang bisa saya dapat dari wawancara saya ini adalah:
Pertama, kerja keras. Orang hidup itu pasti punya kesulitan dan setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya asal kita mau bekerja keras mencari jalan keluar dari setiap kesulitan hidup kita. Kalau kita malas –malasan dan menunggu orang lain yang menemukannya kita tidak akan maju.
Kedua, peka. Banyak sekali saudara –saudara kita yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Hidupnya sangat susah, jangankan untuk sekolah, untuk makan satu hari saja mereka belum tentu mampu. Dari sini, saya pribadi merasa diajak untuk lebih membuka hati nurani terhadap sesama yang mungkin selama ini jarang dilakukan. Tak jarang, saya seolah –olah sibuk dan mementingkan diri saya sendiri padahal begitu banyak orang di luar sana yang butuh bantuan saya.
Ketiga, sikap menghargai. Sikap menghargai ini maksudnya menghargai sesama kita yang berada dalam kehidupan serba pas –pasan tapi juga menghargai orang tua kita. Kita tidak boleh memandang remeh orang yang keadaan ekonominya pas –pasan melainkan kita harus menganggap mereka sederajat dengan kita karena di hadapan Tuhan semua manusia adalah sama. Menghargai orang tua yang telah bekerja keras untuk kita, jangan selalu mengecewakan orang tua kita tapi buatlah mereka bangga dengan prestasi kita.
Keempat, kesabaran. Ibu Juju adalah orang yang sabar menghadapi cobaan hidupnya. Walaupun ia sudah lama tinggal di Jakarta dan kondisi perekonomiannya tetap pas –pasan, ia mencoba terus tanpa letih untuk mencari uang.
REFLEKSI
oleh: Anita X1/26
Wawancara yang dilakukan dengan Ibu Juju membuat saya menyadari dan juga mempelajari banyak hal. Kemiskinan adalah suatu hal yang dapat dialami oleh siapa saja. Tergantung bagaimana kita mencegah atau mengatasinya. Saya sungguh bersyukur karena mempunyai orangtua yang hidup berkecukupan. Sehingga saya tidak perlu untuk bekerja mencari uang dulu, melainkan cukup berkonsentrasi dengan sekolah saja. Tapi bukan berarti saya tidak peduli dengan orang lain yang mungkin kurang beruntung, sehingga untuk makan sehari-hari saja susah untuk mendapatkan uang.
Setiap orang adalah sama. Itulah yang selalu diajarkan setiap agama. Kita harus saling mengasihi dan tidak merendahkan orang lain, termasuk kaum miskin. Mungkin sekarang mereka hidup susah, kekurangan; tapi dibalik semua itu mereka mempunyai lebih banyak dari yang kita punya. Hal-hal yang tidak dapat dilihat dan dibeli dengan uang. Dengan hidup susah, mereka jadi dapat hidup dengan tabah, sabar, dan semangat. Hidup selalu dijalani mereka dengan bahagia juga dengan harapan yang tinggi. Semua itu belum tentu dapat kita lakukan dan dipraktekkan dengan baik. Tapi mereka bisa. Orang-orang seperti Bu Juju ini, bisa menerima hidup serba kekurangan ini, namun tetap berusaha untuk mengubahnya sekeras mungkin.
Jika kemiskinan dapat dikurangi, maka kehidupan masyarakat pada daerah itu juga akan lebih baik. Kemiskinan ini sebenarnya sangat berpengaruh pada masyarakat umum. Kita sebagai manusia akan selalu saling terikat satu sama lain, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sama. Maka, ada baiknya bagi kita untuk tetap menghargai kaum miskin, membantunya sebisa kita, tidak merendahkan melainkan mengangkat mereka. Mencontoh sikap dan nilai-nilai kehidupan dari pengalaman hidup mereka yang keras juga harus sebisa mungkin kita laksanakan. Dengan begitu, kita juga dapat melaksanakan kehendak Tuhan yaitu mengangkat martabat kaum miskin karena mereka memiliki hak yang sama sebagai ciptaan-Nya.
Saya berharap melalui pengalaman yang saya dapat ini, saya bisa semakin bersyukur karena apa yang saya rasakan sekarang ini tidak semua orang dapat rasakan juga. Lalu juga mempraktekkan kesabaran dan keuletan seperti yang dilakukan oleh Bu Juju, atau yang lainnya.
No comments:
Post a Comment